Minggu, 14 Februari 2016

Tarekat Idrisiyyah
Disusun oleh : Rasyid Fauzi
Jurusan          : Aqidah Filsafat (IAIN Surakarta)

Al-Idrisiyyah adalah sebuah tarekat yang didirikan Sayyid Ahmad bin Idris al-Fasi (w. 1253) yang memperoleh pelajaran tasawufnya dari Sayyid Abdul Wahhab at Tazy (w. 1131 H.), seorang sufi reformer berasal dari Afrika.  Abdul Wahhab aI-Tazi ini juga merupakan guru dari Sayyid Muhammad Ali al-Sanusi al Kabir -orang Barat menyebutnya the Grand Sanusi  Pendiri Tarekat Sanusiyah. Karenanya tak mengherankan jika antara kedua tarekat ini terdapat banyak kesamaan terutama dalam ajaraan-ajarannya. Sebab kedua tarekat ini berasal dari guru yang sama. 
Ada baberapa nama diberikan kepada aliran tarekat ini. Terkadang disebut Al-Idrisiyyah, nama yang dihubungkan dengan Sayyid Ahmad bin Idris, namun sering pula disebut Al-Khidiriyyah, nama yang dikaitkan kepada Nabi Khidir as. Bahkan, Sayyid Muhammad Ali as-Sanusi dalam bukunya al-Manhalu aI-Raawii al-Raaiq fii Asaaniid al 'Ulum wa Ushuuli at-Thariiq menyebut tarekat ini  dengan Al-Muhammadiyah juga ada pula catatan yang menyebut tarekat ini Ahmadiyah, nama yang dinisbahkan kepada Ahmad bin Idris.
Sebagaimana Tarekat Sanusiyah, Tarekat Idrisiyah pun punya banyak pengikut terutama di daerah Afrika seperti Tunisia, Libya, Yaman dan sebagainya serta daerah-daerah lainnya & seperti Saudi Arabia, Mesir, dan lain-lain. Adalah para jema'ah haji yang sekaligus memperdalam Ilmu agama di Makkah yang sangat besar peranannya dalam penyebaran tarekat ini.  Ini terjadi karena dalam lebih kurang 36 tahunSyekh Ahmad bin Idris menjadi guru di Makkah yang setiap kali mengajar selalu diikuti banyak murid  yang berasal dari berbagai negara.
Di Indonesia, Tarekat Idrisiyyah nampaknya kurang popular jika dibanding dengan tarekat-tarekat lainnya, seperti Tarekat Qadiriyah, Naqsabandiyah, Syadziliyyah, Samaniyah, Tijaniah, Sanusiyyah, atau Rifa’iyah. Dalam literatur-literatur Indonesia, tarekat ini jarang dibicarakan.  Buku Pangantar llmu Tarekat (Bulan Bintang, 1985) karangan Prof. H. Abubakar Atjeh misalnya, hanya sedikit menyinggung tarekat ini. ltupun tak secara spesifik, melainkan dimasukkan dalam pembahasan mengenai tarekat Sanusiyah. Padahal, tarekat-tarekat lainnya dibahas secara cukup panjang lebar.
Masuknya Tarekat Idrisiyyah ke Indonesia terjadi sekitar 1930-an, dengan Asy-Syaikh Al-Akbar Abdul Fatah sebagai tokoh pertamanya. Beliau lahir di desa Cidahu, Tasikmalaya, pada 1884 M/1303 H. dan merupakan anak ke-3 dari 10 orang bersaudara dari pasangan H. Muhammad Syarif bin Umar dan H. Rafi’ah binti Jenah. Nenek moyangnya tokoh ponyebar Islam di P. Jawa, yaitu Sunan Derajat.
 Sanad Tarekat Al-Idrisiyyah

Syekh Ahmad bin Idris berguru kepada Syekh Abdul Wahab at-Tazi, yang merupakan murid Syekh Abdul Aziz az-Dabbagh, pengarang kitab Al-Ibriz. Awrad terkenal yang diajarkan oleh Syekh Ahmad bin Idris kepada murid-muridnya adalah berupa hizib-hizib, di antaranya adalah Hizib Sayfi yang diperolehnya dari Syekh al-Mujaidiri, yang didapatnya dari seorang Raja Jin, dari SayidinaAli Karramallahu Wajhah. Selain itu Beliau diajarkan seluruh awrad Syadziliyyah dari Rasulullah Saw melalui perantara Nabi Khidir As. Namun yang masih eksis diamalkan oleh penganut Tarekat Idrisiyyah adalah Shalawat 'Azhimiyyah, Istighfar Kabir dan Dzikir Makhshus.
Sanad Tarekat Al-Idrisiyyah terkenal sangat ringkas, karena menggunakan jalur Nabi Khidhir As hingga Nabi Muhammad Saw. Sedangkan jalur pengajaran syari'at Tarekat ini menggunakan jalurSyekh Abdul Qadir al-Jailani Qs. hingga kepada Sayidina Hasan Ra.
             Tarekat Al-Idrisiyyah di Indonesia
Tarekat Al-Idrisiyyah yang dikenal di Indonesia adalah Tarekat yang dibawa oleh Syekh al-Akbar Abdul Fattah pada tahun 1930, yang sebelumnya bernama Tarekat Sanusiyyah. Syekh al-Akbar Abdul Fattah menerimanya dari Syekh Ahmad Syarif as-Sanusi al-Khathabi al-Hasani di Jabal Abu Qubais, Mekah. Saat ini kepemimpinan Tarekat Al-Idrisiyyah diteruskan oleh Syekh Muhammad Fathurahman, MAg.
Tarekat ini menekankan aspek lahir dan batin dalam ajarannya. Penampilan lahiriyyah ditunjukkan oleh penggunaan atribut dalam berpakaian. Kaum laki-laki berjenggot, berghamis putih, bersurban, dan berselendang hijau. Sedangkan kaum wanitanya mengenakan cadar hitam. Jama'ahnya menjauhi perkara haram dan makruh seperti merokok. Adapun dalam aspek peribadatannya senantiasa mendawamkan salat berjama'ah termasuk salat sunnahnya. Sujud syukur setelah salat fardhu dikerjakan secara istiqamah.
Tarekat Al-Idrisiyyah lebih dikenal di Malaysia daripada di Indonesia, karena banyak berafiliasi dengan Tarekat lain (seperti TQN). Ada Tarekat Qadiriyyah Idrisiyyah atau Ahmadiyyah al-Idrisiyyah. Nama Ahmadiyyah diambil dari nama depan Syekh Ahmad bin Idris. Ketika masuk ke Indonesia, karena alasan politis nama Tarekat Sanusiyyah berganti dengan nama Idrisiyyah. Mengingat pergerakan Sanusiyyah saat itu telah dikenal oleh para penjajah Barat.

                   Awrad dan Dzikir
Kebiasaan dzikir yang biasa dilakukan oleh jama'ah Al-Idrisiyyah adalah di setiap waktu ba'da Maghrib hingga Isya dan ba'da Shubuh hingga Isyraq. Pelaksanaan dzikir di Tarekat ini dilakukan dengan jahar (suara nyaring), diiringi lantunan shalawat (kadang-kadang dalam moment tertentu dengan musik). Kitab panduan Awrad dzikirnya bernama 'Hadiqatur Riyahin' yang merupakan khulashah (ringkasan) awrad pilihan (utama) dari berbagai amalan (awrad) Syekh Ahmad bin Idris dan Sadatut Thariqah lainnya. Awrad wajib harian seorang murid Idrisiyyah adalah:
1.      Membaca Al-Quran satu Juz,
2.      Membaca Itighfar Shagir 100 kali,
3.      Membaca Dzikir Makhshush 300 kali: Laa Ilaaha Illallaah Muhammadur Rosulullah fii kulli lamhatiw wanafasin 'adada maa wasi'ahuu 'ilmullah.
4.      Membaca Sholawat Ummiyyah 100 kali,
5.      Membaca Yaa Hayyu Yaa Qoyyuum 1000 kali,
6.      Membaca Dzikir Mulkiyyah 100 kali: Laa Ilaaha illallaahu wahdahuu laa syariikalah, lahul mulku walahul hamdu yuhyii wayumiitu wahuwa 'alaa kulli syay-in qodiir.
7.      Memelihara Ketaqwaan.

8.      Awrad tambahan untuk bertaqaarub kepada Allah adalah menunaikan salat tahajjud dan membaca Sholawat 'Azhimiiyyah sebanyak 70 kali sesudah ba'da Shubuh hingga terbit Fajar.

Sabtu, 05 Juli 2014

ALIRAN KALAM



I. PENDAHULUAN
Aliran-aliran (firqoh) muncul setelah Nabi Muhammad wafat, pada zaman Nabi Muhammad SAW umat Islam dapat kompak dalam lapangan agama, termasuk di bidang aqidah. Kalau ada hal-hal yang tidak jelas atau hal-hal yang diperselisihkan di antara para sahabat, mereka mengembalikan persoalannya kepada nabi. Maka penjelasan beliau itulah yang kemudian menjadi pegangan dan ditaatinya.
Persoalan Iman (aqidah) agaknya merupakan aspek utama dalam ajaran Islam yang didakwahkan oleh Nabi Muhammad. Pentingnnya masalah aqidah ini dalam ajaran Islam tampak jelas pada misi pertama dakwah Nabi ketika berada di Mekkah. Pada periode Mekkah ini, persoalan aqidah memperoleh perhatian yang cukup kuat dibanding persoalan syari’at, sehingga tema sentral dari ayat-ayat al-Quran yang turun selama periode ini adalah ayat-ayat yang menyerukan kepada masalah keimanan.[1]
Setelah Rasulullah wafat mulailah bermunculah aliran-aliran (firqoh) ilmu kalam, terutama pada masa pemerintahan Khalifah Usman bin Affan. Syi’ah merupakan firqoh pertama yang kemudian disusul oleh firqoh-firqoh lainnya, salah satunya adalah firqoh Qadariyah. Dalam makalah ini akan dijelaskan tentang firqoh Qodariyah.

II. PEMBAHASAN

            1. Pengertian Qodariyah
Qodariyah berasal dari  bahasa arab qadara, yang artinya kemampuan dan kekuatan. Menurut pengertian terminologi, qodariyah adalah aliran yang percaya bahwa segala tindakan manusia tidak di intervensi tangan Tuhan. Aliran ini berpendapat bahwa tiap-tiap orang adalah pencipta bagi segala perbuatannya, ia dapat berbuat sesuatu atau meninggalkannya atas kehendaknya sendiri. Berdasarkan pengertian tersebut, dapat dipahami bahwa Qodariyah digunakan untuk nama aliran yang  memberi penekanan atas kebebasan dan kekuatan manusia dalam mewujudkan perbuatan-perbuatannya.[2] Dalam istilah inggrisnya faham ini dikenal dengan nama free will dan free act.

2. Sejarah Kemunculan dan Perkembangan
Latar belakang timbulnya qodariyah ini sebagai isyarat timbulnya kebijaksanaan politik Bani Umayyah yang dianggapnya kejam. Apabila firqoh jabariyyah berpendapat bahwa apabila khalifah bani Umaayyah membunuh orang, hal itu karena sudah di taqdirkan Allah. Demikian hal ini berarti merupakan topeng kekejamannya. Maka firqoh qodariyah mau membatasi qadar tersebut. Mereka mengatakan bahwa Allah itu adil. Maka Allah akan menghukum orang yang bersalah dan memberi pahala orang yang berbuat kebaikan. Manusia harus bebas menentukan nasibnya sendiri dengan memilih perbuatan yang baik atau yang buruk. Jika Allah telah menentukan nasib manusia maka Allah itu dzalim. Karena itu manusia harus merdeka atau ikhtiar atas perbuatannya (khaliqul af’al). Manusia harus mempunyai kebebasan berkehendak. Orang yang berpendapat bahwa amal perbuatan manusia itu hanyalah bergantung pada qadar Allah saja, selamat atau celeka seseorang telah ditentukan oleh Allah sebelumnya, pendapat itu adalah sesat. Sebab pendapat tersebut berarti menentang keutamaan Allah dan berarti menganggapnya pula yang menjadi sebab terjadinya kejahatan kejahatan.Mustahil Allah melakukan kejahatan.[3]
Sejarah lahirnya aliran Qadariyah ini tidak dapat diketahui secara pasti dan masih merupakan sebuah perdebatan. Akan tetepi menurut Ahmad Amin, ada sebagian pakar teologi yang mengatakan bahwa Qadariyah pertama kali dimunculkan oleh Ma’bad al-Jauhani dan Ghilan ad-Dimasyqi sekitar tahun 70 H/689M pada masa pemerintahan Khalifah Abdul Malik bin Marwan (685-705 M). Menurut Ibnu Nabatah, Ma’bad Al-Juhani dan temannya Ghailan Ad-Dimasyqi mengambil paham ini dari seorang Kristen yang masuk islam di Irak. Dan menurut az-Zahabi, Ma’bad adalah seorang tabi’in yang baik.[4] Kedua orang yang menerima paham dari seorang nashrani di atas dengan gigih mengembangkan paham qodariyah. Ma’bad al juhani menjadikan daerah Irak sebagai sasaran pengembangan paham ini. Sedangkan Ghailan al Dimasyqi mengembangkannya di daerah Damaskus. Ma’bad mengembangkan paham ini dalam waktu yang cukup lama sampai Abdul Rahman ibn Al Al Asy’ats tergoda untuk menerima paham ini. Ketika ibnu Al Asy’ats dikalahkan dalam suatu peperangan, Ma’bad termasuk salah seorang yang di bunuh Al Hajjaj[5] karena di pandang sebagai salah seorang yang menyebabkan terjadinya fitnah atau pertentangan pendapat dan mendukung terjadinya fitnah itu.[6]
Sedangkan Ghailan sendiri terus menyebarkan faham Qadariyah-nya di Damaskus, tetapi mendapat tantangan dari khalifah Umar Ibn ‘Abd al-Aziz. Setelah kewafatan Umar, ia meneruskan penyebaran Qodariyah. Ia wafat dihukum mati oleh Khalifah Hisyam ibn ‘Abd Malik.[7]
Kehadiran Qadariyah dalam wilayah kekuasaanya selalu mendapat tekanan, bahkan pada zaman Abdul Malik bin Marwan pengaruh Qadariyah dapat dikatakan lenyap tapi hanya untuk sementara saja, sebab dalam perkembangan selanjutnya ajaran Qadariyah itu tertampung dalam Muktazilah.[8]
3. Tokoh Tokoh Aliran Qodariyah
a. Ma’bad al-Juhani
Ia adalah tokoh petama yang menyatakan faham ini kemudian diikuti oleh Ghailan Al-Dimasyqi. Ma’bad al Juhani dan beberapa pengikutnya di tangkap dan dia sendiri di hokum bunuh di Damaskus (80 H/690 M).[9]
b.  Abi Syamir
Ia menjelaskan bahwa sesungguhnya iman adalah ma’rifat kepada Allah azza wajalla, cinta, tunduk dengan hati kepadanya dan berikrar bahwa sesungguhnya Dia itu Esa, tak satupun yang menyerupainya, selama ada hujjah padanya hujjah para nabi. Apabila hujjah itu ada, maka ikrar dan tashdiqnya termasuk iman dan ma’rifat. Ikrar terhadap segala apa yang berasal dari Allah (wahyu) yang di bawa oleh para nabi tidak termasuk iman yang asli. Tiap-tiap bagian bukanlah bagian dari iman itu merupakan iman dan tidak pula bagian dari iman. Apabila terhimpun bagian-bagian itu, jadilah keseluruhannnya itu iman. Adapun syarat dari bagian iman ialah mengenal keadilan. Maksudnya ialah qodar (taqdir). Baik dan buruk seseorang tanpa sedikitpun di sandarkan kepada Allah.
c. Muhammad ibn Syabib
Menurutnya bahwa sesungguhnya iman dadalah ikrar kepada Allah, ma’rifat kepada para rosul dan segala apa yang di bawanya dari allah tentang hal-hal yang di sepakati oleh orang-orang islam, seperti solat, zakat, puasa, haji, dan hal-hal yang tidak berselisihannya. Iman itu bercabang-cabang dan manusia berlebih tentang iman. Satu bagian dari iman kadang-kadang merupakan bagian iman dan meninggalkannya menjadi kufur di sebabkan meninggalkan sebagian dari iman dan tidak menjadi mukmin dengan tepat sepenuhnya[10]
d. Ghailan Ad Dimasyqi
Penduduk Kota di Masqi (syiria) ayahnya seorang yang pernah bekerja pada khalifah Usman bin Affan. Dia datang ke Damaskus pada massa pemerintah khalifah ibn Abdul Malik (105-125 H). Ghailan pun dihukum mati sama seperti Ma’bad. Ghailan berpendapat bahwa manusia berkuasa melakukan perbuatan-perbuatan atas kehendak dan kekuasaannya sendiri. Faham Qodariyah telah meletakan manusia pada posisi merdeka dalam menentukan tingkah lakunya dan kehendaknya.

4. Pola Pikir Aliran Qodariyah
Pemahaman tentang qodariyah ini jangan di kacaukan dengan pemahaman tentang sifat al qudro yang di miliki oleh Allah, karena pemahaman terhadap sifat al qudro ini lebih di tunjukan kepada upaya ma’rifat billah, sedangkan faham qodariyah lebih di tujukan kepada qudrot yang di miliki manusia. Namun terdapat perbedaan antara qudrot yang di miliki manusia dengan qudrot yang di miliki Tuhan. Qudrot Tuhan bersifat abadi, kekal, berada pada zat Allah, tunggal, tidak berbilang dan berhubungan dengan segala yang di jadikan objek kekuatan (al maqdurot), serta tidak berakhir dalam hubungannya dengan zat. Sedangkan qudrot manusia adalah sementara, berproses, bertambah, berkurang dan dapat hilang.[11]
Dalam kitab Al-Milal wa An-Nihal, pembahasan masalah Qadariyah disatukan dengan pembahasan tentang doktrin-doktrin Mu’tazilah, sehingga perbedaan antara kedua aliran ini kurang begitu jelas. Ahmad Amin juga menjelaskan bahwa doktrin qadar lebih luas di kupas oleh kalangan Mu’tazilah sebab faham ini juga menjadikan salah satu doktrin Mu’tazilah. Akibatnya, orang menamakan Qadariyah dengan Mu’tazilah karena kedua aliran ini sama-sama percaya bahwa manusia mempunyai kemampuan untuk mewujudkan tindakan tanpa campur tangan tuhan.
5. Ajaran dan Doktrin Aliran Qodariyah
Faham mereka antara lain ialah manusialah yang menciptakan perbuatannya dengan qudrat yang telah diberikan Tuhan kepadaya sejak lahir. Tuhan tidak ada hubungan dengan manusia sekarang ini, bahkan Tuhan tidak tahu akan apa yang diperbuat manusia Tuhan baru tahu akan perbuatan manusia setelah dikerjakannya. Kalau manusia berbuat baik, akan diberiNya pahala, dan kalau berbuat dosa akan di siksaNya, kaarena memakai qudrat tidak pada tmpatnya.[12]
            Harun Nasution menjelaskan pendapat Ghalian tentang ajaran Qadariyah bahwa manusia berkuasa atas perbuatan-perbutannya. Manusia sendirilah yang melakukan perbuatan baik atas kehendak dan kekuasaan sendiri dan manusia sendiri pula yang melakukan atau menjauhi perbuatan-perbutan jahat atas kemauan dan dayanya sendiri. Tokoh an-Nazzam menyatakan bahwa manusia hidup mempunyai daya, dan dengan daya itu ia dapat berkuasa atas segala perbuatannya[13]. Dengan demikian bahwa segala tingkah laku manusia dilakukan atas kehendaknya sendiri. Manusia mempunyai kewenangan untuk melakukan segala perbuatan atas kehendaknya sendiri, baik berbuat baik maupun berbuat jahat. Oleh karena itu, ia berhak mendapatkan pahala atas kebaikan yang dilakukannya dan juga berhak pula memperoleh hukuman atas kejahatan yang diperbuatnya. Ganjaran kebaikan di sini disamakan dengan balasan surga kelak di akherat dan ganjaran siksa dengan balasan neraka kelak di akherat, itu didasarkan atas pilihan pribadinya sendiri, bukan oleh takdir Tuhan. Karena itu sangat pantas, orang yang berbuat akan mendapatkan balasannya sesuai dengan tindakannya[14]
Faham takdir yang dikembangkan oleh Qadariyah berbeda dengan konsep yang umum yang dipakai oleh bangsa Arab ketika itu, yaitu paham yang mengatakan bahwa nasib manusia telah ditentukan terlebih dahulu. Dalam perbuatannya, manusia hanya bertindak menurut nasib yang telah ditentukan sejak azali terhadap dirinya. Dengan demikian takdir adalah ketentuan Allah yang diciptakan-Nya bagi alam semesta beserta seluruh isinya, sejak azali, yaitu hukum yang dalam istilah Alquran adalah sunnatullah.
Dengan alasan seperti ini tidak ada alasan untuk menyandarkan perbuatan kepada Tuhan. Penjelasan yang menyatakan bahwa manusia mempunyai qudrah lebih lanjut di jelaskan oleh Ali Musthafa al-Ghurabi anatara lain menyatakan “bahwa sesungguhnya Allah telah menciptakan menusia dan menjadikan baginya kekuatan agar dapat melaksanakan apa yang di bebankan oleh Tuhan kepadanya. Karena jika Allah memberi beban kepada manusia, namun ia tidak memberikan kekuatan kepada manusia, maka beban itu adalah sia sia , sedangkan kesia-siaan bagi Allah adalah sesuatu yang tidak boleh terjadi.[15] Dasar pemikiran qodariyah tidaklah semata-mata hasil dari pemikiran mereka sendiri. Akan tetapi mempunyai pijakan dalam Al-Qur’an. Di antara pijakannya adalah    
È@è%ur ,ysø9$# `ÏB óOä3În/§ ( `yJsù uä!$x© `ÏB÷sãù=sù ÆtBur uä!$x© öàÿõ3uù=sù 4
 “Dan Katakanlah: "Kebenaran itu datangnya dari Tuhanmu; Maka Barangsiapa yang ingin (beriman) hendaklah ia beriman, dan Barangsiapa yang ingin (kafir) Biarlah ia kafir". ( al Kahfi:29)
žcÎ) ©!$# Ÿw çŽÉitóム$tB BQöqs)Î/ 4Ó®Lym (#rçŽÉitóム$tB öNÍkŦàÿRr'Î/ 3 !  
“Sesungguhnya Allah tidak merubah nasib suatu qaum sehingga mereka mau mengubah nasib mereka sendiri (ar-Ra’d: 11)
Secara terperinci asas-asas ajaran Qadariyah adalah sebagai berikut :
1. Mengingkari takdir Allah Taala dengan maksud ilmuNya.
2. Melampau di dalam menetapkan kemampuan manusia dengan menganggap mereka bebas berkehendak (iradah). Di dalam perbuatan manusia, Allah tidak mempunyai pengetahuan (ilmu) mengenainya dan ia terlepas dari takdir (qadar). Mereka menganggap bahawa Allah tidak mempunyai pengetahuan mengenai sesuatu kecuali selepas ia terjadi.
3.  Mereka berpendapat bahawa Allah tidak bersifat dengan suatu sifat yang ada pada makhluknya. Kerana ini akan membawa kepada penyerupaan (tasybih). Oleh itu mereka menafikan sifat-sifat Ma'ani dari Allah Taala.
4. Mereka berpendapat bahawa al-Quran itu adalah makhluk. Ini disebabkan pengingkaran mereka terhadap sifat Allah.
5.  Mengenal Allah wajib menurut akal, dan iman itu ialah mengenal Allah.
6.  Mereka mengingkari melihat Allah (rukyah), kerana ini akan membawa kepada penyerupaan (tasybih).
7.   Mereka mengemukakan pendapat tentang syurga dan neraka akan musnah (fana'), selepas ahli syurga mengecap nikmat dan ali neraka menerima azab siksa.

6. Sekte Sekte dalam Aliran Qodariyah
Mereka sulit diketahui aliran alirannya. Karena mereka dalam segi tetentu mempunyai kesamaan ajaran dengan mu’tazilah.
Qodariyah terbagi kedalam tiga kelompok, antara lain:
a.Qodariyah Musyrikah
Manusia yang mengetahui tentang qhada dan qhadar Allah serta mengakui bahwa hal itu selaras dengan perintah dan larangan-Nya.
b.Qodariyah Majusyiah
Qodariyah Majusyiah adalah mereka yang menjadikan Allah berserikat dalam penciptaan-penciptaan-Nya sebagaimana Qodariyah Musyrikiyah menjadikan sekutu-sekutu bagi Allah dalam beribadah kepada-Nya
c.Qodariyah Iblisyiah
Manusia yang membenarkan bahwa Allah merupakan sumber kedua perkara, akan tetapi menurut mereka hal ini sangat berlawanan.Merekalah orang-orang yang membatah Allah sebagaimana yang disebutkan dalam hadits.[16]
III. Penutup
KESIMPULAN
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwapaham qodariyah telah meletakkan manusia padaposisi merdeka dalam menentukan tingkah laku dan kehendaknya. Jika manusia berbuat baik maka hal itu adalah atas kehebndak dan kemauannya sendiri serta berdasarkan kemerdejkaan dan kebebasan memilih yang ia miliki. Oleh larena itu jika seseoang diberiganjaran yang baik berupa surge di akhirat , atau di beri siksaan di neraka , maka senmua itu adalah atas pilihanna sendiri.
Dari sini bisa di tarik sedikit kesimpulan bahwa qodariyah meletakan posisi manusia dalam keadaan merdeka secara total. Free will yang tak terbatas, semua yang manusia lakukan tak ada sangkut pautnya dengan kehendak Tuhan.



DAFTAR PUSTAKA
Abu Zahrah, Imam Muhammad. Aliran Politik dan Aqidah dalam Islam. 1996. Jakarta: Logos
Anwar, Rosihan. Ilmu Kalam. 2012. Bandung: CV Pustaka Setia
Asmuni, Yusran, Dirasah Islamiyah: Pengantar Studi Sejarah Kebudayaan Islam dan Pemikiran.1996. Jakarta: Raja Grafindo Persada
Hamdani, Maslani, Ratu Suntiah. Ilmu Kalam. 2011. Bandung: Sega Asri
Mustopa. Mazhab-mazhab Ilmu Kalam. 2010. Cirebon: Nurjati Publisher
Nasir, Sahilun A. Pemikiran Kalam (Teologi Islam); Sejarah, Ajaran, dan Perkembangannya. 2012. Jakarta: Raja Grafindo Persada
Nasution, Harun, Teologi Islam: Aliran-aliran, Sejarah Analisa dan Perbandingan. 1986. Jakarta: UI Press
Nata, Abuddin, Ilmu Kalam, Filsafat dan Tasawuf. 1995. Jakarta: Raja Grafindo Persada
Zaini, Syahminan. Kuliah Aqidah Islam. 1996. Surabaya: Al Ikhlas



[1] Rosihan Anwar, Ilmu Kalam, (Bandung: CV Pustaka Setia.2012) Hlm 70
[2] Ibid. Hlm 87
[3] Sahilun A Nasir, Pemikiran Kalam (Teologi Islam); Sejarah, Ajaran, dan Perkembangannya, (Jakarta: Raja Grafindo Persada. 2012) Hlm 139
[4] Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran-aliran,Sejarah, Analisa dan Perbandingan, ( Jakarta:UI Press.1986) Hlm 34
[5] Al Hajajj adalah seorang gubernur Bashrah , pada masa pemerintahan Khalifah Abdul Malik bin Marwan.
[6] Imam Muhammad Abu Zahrah, Aliran Politik dan Aqidah dalam Islam , (Jakarta: Logos.1996.) hlm 133
[7] Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran-aliran,Sejarah, Analisa dan Perbandingan, Hlm 34
uni, Yusran, Dirasah Islamiyah: Pengantar Studi Sejarah KGrafindo Persada, 1996) hlm 74
[9] Sahilun A Nasir, Pemikiran Kalam (Teologi Islam); sejarah,ajaran, dan perkembangannya, (Jakarta: Raja Grafindo Persada. 2012) Hlm 140
[10] Mustopa, Mazhab-mazhab Ilmu Kalam, (Cirebon: Nurjati Publisher. 2010). hlm 33-34
[11] Abuddin Nata, Ilmu Kalam, Filsafat dan Tasawuf, (Jakarta: Raja Grfafindo Persada. 1995). Hlm 39

[12] Syahminan Zaini, Kuliah Aqidah Islam, (Surabaya: Al Ikhlas. 1996). Hlm 426
[13] Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran-aliran Sejarah Analisa Perbandingan, (Jakarta: UI-Press. 1986).hlm 31
[14] Rosihan Anwar, Ilmu Kalam, (Bandung: Puskata Setia, 2006). hlm 73
[15] Abuddin Nata, Ilmu Kalam, Filsafat dan Tasawuf, (Jakarta: Raja  Grafindo Persada. 1995). Hlm 39
[16] Hamdani, Maslani, Ratu Suntiah. Ilmu Kalam, (Bandung: Sega Asri, 2011). hlm