Aliran-aliran (firqoh)
muncul setelah Nabi Muhammad wafat, pada zaman Nabi Muhammad SAW umat Islam
dapat kompak dalam lapangan agama, termasuk di bidang aqidah. Kalau ada hal-hal
yang tidak jelas atau hal-hal yang diperselisihkan di antara para sahabat,
mereka mengembalikan persoalannya kepada nabi. Maka penjelasan beliau itulah
yang kemudian menjadi pegangan dan ditaatinya.
Persoalan Iman (aqidah) agaknya
merupakan aspek utama dalam ajaran Islam yang didakwahkan oleh Nabi Muhammad.
Pentingnnya masalah aqidah ini dalam ajaran Islam tampak jelas pada misi
pertama dakwah Nabi ketika berada di Mekkah. Pada periode Mekkah ini, persoalan
aqidah memperoleh perhatian yang cukup kuat dibanding persoalan syari’at,
sehingga tema sentral dari ayat-ayat al-Quran yang turun selama periode ini
adalah ayat-ayat yang menyerukan kepada masalah keimanan.
Setelah Rasulullah wafat mulailah bermunculah aliran-aliran
(firqoh) ilmu kalam, terutama pada
masa pemerintahan Khalifah Usman bin Affan. Syi’ah merupakan firqoh pertama
yang kemudian disusul oleh firqoh-firqoh lainnya, salah satunya adalah firqoh
Qadariyah. Dalam makalah ini akan dijelaskan tentang firqoh Qodariyah.
II. PEMBAHASAN
1. Pengertian Qodariyah
Qodariyah
berasal
dari bahasa arab qadara, yang
artinya kemampuan dan kekuatan. Menurut pengertian terminologi, qodariyah adalah
aliran yang percaya bahwa segala tindakan manusia tidak di intervensi tangan
Tuhan. Aliran ini berpendapat bahwa tiap-tiap orang adalah pencipta bagi segala
perbuatannya, ia dapat berbuat sesuatu atau meninggalkannya atas kehendaknya
sendiri. Berdasarkan pengertian tersebut, dapat dipahami bahwa Qodariyah digunakan
untuk nama aliran yang memberi penekanan
atas kebebasan dan kekuatan manusia dalam mewujudkan perbuatan-perbuatannya. Dalam istilah inggrisnya faham ini
dikenal dengan nama free will dan free act.
2. Sejarah Kemunculan
dan Perkembangan
Latar
belakang timbulnya qodariyah ini sebagai isyarat timbulnya kebijaksanaan politik
Bani Umayyah yang dianggapnya kejam. Apabila firqoh jabariyyah berpendapat
bahwa apabila khalifah bani Umaayyah membunuh orang, hal itu karena sudah di
taqdirkan Allah. Demikian hal ini berarti merupakan topeng kekejamannya. Maka
firqoh qodariyah mau membatasi qadar tersebut. Mereka mengatakan bahwa Allah
itu adil. Maka Allah akan menghukum orang yang bersalah dan memberi pahala
orang yang berbuat kebaikan. Manusia harus bebas menentukan nasibnya sendiri dengan
memilih perbuatan yang baik atau yang buruk. Jika Allah telah menentukan nasib
manusia maka Allah itu dzalim. Karena itu manusia harus merdeka atau ikhtiar
atas perbuatannya (khaliqul af’al).
Manusia harus mempunyai kebebasan berkehendak. Orang yang berpendapat bahwa
amal perbuatan manusia itu hanyalah bergantung pada qadar Allah saja, selamat
atau celeka seseorang telah ditentukan oleh Allah sebelumnya, pendapat itu
adalah sesat. Sebab pendapat tersebut berarti menentang keutamaan Allah dan
berarti menganggapnya pula yang menjadi sebab terjadinya kejahatan kejahatan.Mustahil
Allah melakukan kejahatan.
Sejarah lahirnya aliran Qadariyah ini tidak
dapat diketahui secara pasti dan masih merupakan sebuah perdebatan. Akan tetepi
menurut Ahmad Amin, ada sebagian pakar teologi yang mengatakan bahwa Qadariyah
pertama kali dimunculkan oleh Ma’bad al-Jauhani dan Ghilan ad-Dimasyqi sekitar
tahun 70 H/689M pada
masa pemerintahan Khalifah Abdul Malik bin Marwan (685-705 M).
Menurut Ibnu Nabatah, Ma’bad Al-Juhani dan temannya Ghailan Ad-Dimasyqi
mengambil paham ini dari seorang Kristen yang masuk islam di Irak. Dan menurut
az-Zahabi, Ma’bad adalah seorang tabi’in yang baik.
Kedua orang yang menerima paham dari seorang nashrani di atas dengan gigih
mengembangkan paham qodariyah. Ma’bad al juhani menjadikan daerah Irak sebagai
sasaran pengembangan paham ini. Sedangkan Ghailan al Dimasyqi mengembangkannya
di daerah Damaskus. Ma’bad mengembangkan paham ini dalam waktu yang cukup lama
sampai Abdul Rahman ibn Al Al Asy’ats tergoda untuk menerima paham ini. Ketika
ibnu Al Asy’ats dikalahkan dalam suatu peperangan, Ma’bad termasuk salah
seorang yang di bunuh Al Hajjaj
karena di pandang sebagai salah seorang yang menyebabkan terjadinya fitnah atau
pertentangan pendapat dan mendukung terjadinya fitnah itu.
Sedangkan Ghailan sendiri terus
menyebarkan faham Qadariyah-nya di Damaskus, tetapi mendapat tantangan dari
khalifah Umar Ibn ‘Abd al-Aziz. Setelah kewafatan Umar, ia meneruskan
penyebaran Qodariyah. Ia wafat dihukum mati oleh Khalifah Hisyam ibn ‘Abd
Malik.
Kehadiran Qadariyah dalam wilayah
kekuasaanya selalu mendapat tekanan, bahkan pada zaman Abdul Malik bin Marwan
pengaruh Qadariyah dapat dikatakan lenyap tapi hanya untuk sementara saja,
sebab dalam perkembangan selanjutnya ajaran Qadariyah itu tertampung dalam
Muktazilah.
3.
Tokoh Tokoh Aliran Qodariyah
a. Ma’bad al-Juhani
Ia adalah tokoh petama yang
menyatakan faham ini kemudian diikuti oleh Ghailan Al-Dimasyqi. Ma’bad al
Juhani dan beberapa pengikutnya di tangkap dan dia sendiri di hokum bunuh di Damaskus
(80 H/690 M).
b. Abi Syamir
Ia menjelaskan bahwa sesungguhnya iman adalah ma’rifat
kepada Allah azza wajalla, cinta, tunduk dengan hati kepadanya dan berikrar
bahwa sesungguhnya Dia itu Esa, tak satupun yang menyerupainya, selama ada
hujjah padanya hujjah para nabi. Apabila hujjah itu ada, maka ikrar dan
tashdiqnya termasuk iman dan ma’rifat. Ikrar terhadap segala apa yang berasal
dari Allah (wahyu) yang di bawa oleh para nabi tidak termasuk iman yang asli.
Tiap-tiap bagian bukanlah bagian dari iman itu merupakan iman dan tidak pula
bagian dari iman. Apabila terhimpun bagian-bagian itu, jadilah keseluruhannnya
itu iman. Adapun syarat dari bagian iman ialah mengenal keadilan. Maksudnya
ialah qodar (taqdir). Baik dan buruk seseorang tanpa sedikitpun di sandarkan
kepada Allah.
c. Muhammad
ibn Syabib
Menurutnya bahwa sesungguhnya iman dadalah ikrar kepada
Allah, ma’rifat kepada para rosul dan segala apa yang di bawanya dari allah
tentang hal-hal yang di sepakati oleh orang-orang islam, seperti solat, zakat,
puasa, haji, dan hal-hal yang tidak berselisihannya. Iman itu bercabang-cabang
dan manusia berlebih tentang iman. Satu bagian dari iman kadang-kadang
merupakan bagian iman dan meninggalkannya menjadi kufur di sebabkan
meninggalkan sebagian dari iman dan tidak menjadi mukmin dengan tepat
sepenuhnya
d.
Ghailan Ad Dimasyqi
Penduduk Kota di Masqi (syiria) ayahnya seorang yang pernah
bekerja pada khalifah Usman bin Affan. Dia datang ke Damaskus pada massa
pemerintah khalifah ibn Abdul Malik (105-125 H). Ghailan pun dihukum mati sama
seperti Ma’bad. Ghailan berpendapat bahwa manusia berkuasa melakukan
perbuatan-perbuatan atas kehendak dan kekuasaannya sendiri. Faham Qodariyah
telah meletakan manusia pada posisi merdeka dalam menentukan tingkah lakunya
dan kehendaknya.
4.
Pola Pikir Aliran Qodariyah
Pemahaman tentang qodariyah ini jangan
di kacaukan dengan pemahaman tentang sifat
al qudro yang di miliki oleh Allah, karena pemahaman terhadap sifat al qudro ini lebih di tunjukan kepada
upaya ma’rifat billah, sedangkan faham qodariyah lebih di tujukan kepada qudrot
yang di miliki manusia. Namun terdapat perbedaan antara qudrot yang di miliki
manusia dengan qudrot yang di miliki Tuhan. Qudrot Tuhan bersifat abadi, kekal,
berada pada zat Allah, tunggal, tidak berbilang dan berhubungan dengan segala yang
di jadikan objek kekuatan (al maqdurot),
serta tidak berakhir dalam hubungannya dengan zat. Sedangkan qudrot manusia
adalah sementara, berproses, bertambah, berkurang dan dapat hilang.
Dalam kitab Al-Milal wa An-Nihal,
pembahasan masalah Qadariyah disatukan dengan pembahasan tentang
doktrin-doktrin Mu’tazilah, sehingga perbedaan antara kedua aliran ini kurang
begitu jelas. Ahmad Amin juga menjelaskan bahwa doktrin qadar lebih luas di
kupas oleh kalangan Mu’tazilah sebab faham ini juga menjadikan salah satu
doktrin Mu’tazilah. Akibatnya, orang menamakan Qadariyah dengan Mu’tazilah
karena kedua aliran ini sama-sama percaya bahwa manusia mempunyai kemampuan
untuk mewujudkan tindakan tanpa campur tangan tuhan.
5. Ajaran dan Doktrin
Aliran Qodariyah
Faham mereka antara lain ialah
manusialah yang menciptakan perbuatannya dengan qudrat yang telah diberikan
Tuhan kepadaya sejak lahir. Tuhan tidak ada hubungan dengan manusia sekarang
ini, bahkan Tuhan tidak tahu akan apa yang diperbuat manusia Tuhan baru tahu
akan perbuatan manusia setelah dikerjakannya. Kalau manusia berbuat baik, akan
diberiNya pahala, dan kalau berbuat dosa akan di siksaNya, kaarena memakai
qudrat tidak pada tmpatnya.
Harun
Nasution menjelaskan pendapat Ghalian tentang ajaran Qadariyah bahwa
manusia berkuasa atas perbuatan-perbutannya. Manusia sendirilah yang melakukan
perbuatan baik atas kehendak dan kekuasaan sendiri dan manusia sendiri pula
yang melakukan atau menjauhi perbuatan-perbutan jahat atas kemauan dan dayanya
sendiri. Tokoh an-Nazzam menyatakan bahwa manusia hidup mempunyai daya, dan
dengan daya itu ia dapat berkuasa atas segala perbuatannya.
Dengan demikian bahwa segala tingkah laku manusia dilakukan atas kehendaknya
sendiri. Manusia mempunyai kewenangan untuk melakukan segala perbuatan atas
kehendaknya sendiri, baik berbuat baik maupun berbuat jahat. Oleh karena itu,
ia berhak mendapatkan pahala atas kebaikan yang dilakukannya dan juga berhak
pula memperoleh hukuman atas kejahatan yang diperbuatnya. Ganjaran kebaikan di
sini disamakan dengan balasan surga kelak di akherat dan ganjaran siksa dengan
balasan neraka kelak di akherat, itu didasarkan atas pilihan pribadinya
sendiri, bukan oleh takdir Tuhan. Karena itu sangat pantas, orang yang berbuat
akan mendapatkan balasannya sesuai dengan tindakannya
Faham takdir yang dikembangkan oleh Qadariyah berbeda
dengan konsep yang umum yang dipakai oleh bangsa Arab ketika itu, yaitu paham
yang mengatakan bahwa nasib manusia telah ditentukan terlebih dahulu. Dalam
perbuatannya, manusia hanya bertindak menurut nasib yang telah ditentukan sejak
azali terhadap dirinya. Dengan demikian takdir adalah ketentuan Allah yang
diciptakan-Nya bagi alam semesta beserta seluruh isinya, sejak azali, yaitu
hukum yang dalam istilah Alquran adalah sunnatullah.
Dengan
alasan seperti ini tidak ada alasan untuk menyandarkan perbuatan kepada Tuhan. Penjelasan
yang menyatakan bahwa manusia mempunyai qudrah lebih lanjut di jelaskan oleh
Ali Musthafa al-Ghurabi anatara lain menyatakan “bahwa sesungguhnya Allah telah
menciptakan menusia dan menjadikan baginya kekuatan agar dapat melaksanakan apa
yang di bebankan oleh Tuhan kepadanya. Karena jika Allah memberi beban kepada
manusia, namun ia tidak memberikan kekuatan kepada manusia, maka beban itu adalah
sia sia , sedangkan kesia-siaan bagi Allah adalah sesuatu yang tidak boleh
terjadi.
Dasar pemikiran qodariyah tidaklah
semata-mata hasil dari pemikiran mereka sendiri. Akan tetapi mempunyai pijakan
dalam Al-Qur’an. Di antara pijakannya adalah
È@è%ur ,ysø9$# `ÏB óOä3În/§ (
`yJsù uä!$x© `ÏB÷sãù=sù ÆtBur uä!$x© öàÿõ3uù=sù 4
“Dan
Katakanlah: "Kebenaran itu datangnya dari Tuhanmu; Maka Barangsiapa yang
ingin (beriman) hendaklah ia beriman, dan Barangsiapa yang ingin (kafir)
Biarlah ia kafir". ( al Kahfi:29)
cÎ) ©!$# w çÉitóã $tB BQöqs)Î/ 4Ó®Lym (#rçÉitóã $tB öNÍkŦàÿRr'Î/ 3 !
“Sesungguhnya
Allah tidak merubah nasib suatu qaum sehingga mereka mau mengubah nasib mereka sendiri
(ar-Ra’d: 11)
Secara
terperinci asas-asas ajaran Qadariyah adalah sebagai berikut :
1.
Mengingkari takdir Allah Taala dengan maksud ilmuNya.
2. Melampau di dalam menetapkan kemampuan manusia dengan
menganggap mereka bebas berkehendak (iradah).
Di dalam perbuatan manusia, Allah tidak mempunyai pengetahuan (ilmu)
mengenainya dan ia terlepas dari takdir (qadar).
Mereka menganggap bahawa Allah tidak mempunyai pengetahuan mengenai sesuatu
kecuali selepas ia terjadi.
3. Mereka berpendapat bahawa Allah tidak bersifat dengan suatu
sifat yang ada pada makhluknya. Kerana ini akan membawa kepada penyerupaan
(tasybih). Oleh itu mereka menafikan sifat-sifat Ma'ani dari Allah Taala.
4. Mereka berpendapat bahawa al-Quran itu adalah makhluk. Ini
disebabkan pengingkaran mereka terhadap sifat Allah.
5.
Mengenal Allah wajib menurut akal,
dan iman itu ialah mengenal Allah.
6. Mereka mengingkari melihat Allah (rukyah), kerana ini akan membawa kepada
penyerupaan (tasybih).
7. Mereka mengemukakan pendapat tentang
syurga dan neraka akan musnah (fana'),
selepas ahli syurga mengecap nikmat dan ali neraka menerima azab siksa.
6. Sekte Sekte dalam
Aliran Qodariyah
Mereka
sulit diketahui aliran alirannya. Karena mereka dalam segi tetentu mempunyai
kesamaan ajaran dengan mu’tazilah.
Qodariyah
terbagi kedalam tiga kelompok, antara lain:
a.Qodariyah
Musyrikah
Manusia
yang mengetahui tentang qhada dan qhadar Allah serta mengakui bahwa hal itu
selaras dengan perintah dan larangan-Nya.
b.Qodariyah
Majusyiah
Qodariyah
Majusyiah adalah mereka yang menjadikan Allah berserikat dalam
penciptaan-penciptaan-Nya sebagaimana Qodariyah Musyrikiyah menjadikan
sekutu-sekutu bagi Allah dalam beribadah kepada-Nya
c.Qodariyah
Iblisyiah
Manusia
yang membenarkan bahwa Allah merupakan sumber kedua perkara, akan tetapi
menurut mereka hal ini sangat berlawanan.Merekalah orang-orang yang membatah
Allah sebagaimana yang disebutkan dalam hadits.
Dengan
demikian dapat disimpulkan bahwapaham qodariyah telah meletakkan manusia
padaposisi merdeka dalam menentukan tingkah laku dan kehendaknya. Jika manusia
berbuat baik maka hal itu adalah atas kehebndak dan kemauannya sendiri serta
berdasarkan kemerdejkaan dan kebebasan memilih yang ia miliki. Oleh larena itu
jika seseoang diberiganjaran yang baik berupa surge di akhirat , atau di beri
siksaan di neraka , maka senmua itu adalah atas pilihanna sendiri.
Dari sini bisa di tarik sedikit
kesimpulan bahwa qodariyah meletakan posisi manusia dalam keadaan merdeka
secara total. Free will yang tak terbatas, semua yang manusia lakukan tak ada
sangkut pautnya dengan kehendak Tuhan.
DAFTAR PUSTAKA
Hamdani, Maslani, Ratu
Suntiah. Ilmu Kalam. 2011. Bandung: Sega Asri
Mustopa. Mazhab-mazhab Ilmu Kalam. 2010. Cirebon:
Nurjati Publisher
Nata, Abuddin,
Ilmu Kalam, Filsafat dan Tasawuf. 1995. Jakarta: Raja Grafindo Persada
Zaini, Syahminan.
Kuliah Aqidah Islam. 1996. Surabaya: Al Ikhlas
Mustopa, Mazhab-mazhab Ilmu Kalam, (Cirebon: Nurjati
Publisher. 2010). hlm 33-34
Rosihan Anwar, Ilmu Kalam, (Bandung: Puskata Setia, 2006). hlm 73
Hamdani, Maslani, Ratu Suntiah. Ilmu
Kalam, (Bandung: Sega Asri, 2011). hlm