A. PENDAHULUAN
Salah satu objek penting lainya dalam kajian “Ulumul Qur’an” adalah
perbincangan mengenai mukjizat. Persoalan mukjizat, terutama mukjizat Al-Qur’an,
sempat menyeret para teolog klasik dalam perdebatan yang berkepenjangan,
terutama antara teolog dari kalangan Mu’tazilah dan para teolog dari kalangan
Ahlus sunnah.
Dengan perantara mukjizat, Allah mengingatkan
manusia bahwa para rasul itu merupakan utusan yang mendapat dukungan dan
bantuan dari langit. Mukjizat yang telah diberikan kepada para nabi mempunyai
fungsi yang sama, yaitu memainkan peranannya dan mengatasi kepandaian kaumnya
disamping membuktikan bahwa kekuasaan Allah itu berada diatas segala-galanya.
Al-Qur’an mempunyai
keistimewaan bila dibandingkan dengan mukjizat-mukjizat para nabi sebelumnya.
Mukjizat para Nabi sebelumnya merupakan mukjizat yang hanya dapat diindera dan
dibuktikan oleh kaum dan orang-orang yang sezaman dengan Nabi tersebut, sedang
orang-orang setelahnya tidak dapat mengetahui adanya mukjizat tersebut kecuali
melalui berita, sedangkan mukjizat Al-Qur’an adalah mukjizat yang dapat dindera
dan dibuktikan oleh seluruh manusia disetiap masa sampai hari kiamat.
Al-Qur’an adalah kitab petunjuk dan hidayah
bagi manusia dan seluruh makhluq yang bertaqwa di atas bumi ini.[1] Seluruh alam yang luas beserta isinya
dari bumi, laut dan segala isinya akan menjadi kecil dihadapan manusia yang
lemah, karena ia telah diberi keistimewaan-keistimewaan seperti kemampuan
berpikir untuk mengelola seluruh yang ada dihadapannya. Akan tetapi Allah tidak
akan membiarkan manusia tanpa adanya wahyu pada setiap masa, agar mendapat
petunjuk dan menjalankan kehidupannya dengan benar. Maka Allah mengutus
Rasul-Nya dengan mu’jizat yang sesuai dengan kecanggihan kaum pada masanya,
agar manusia mempercayai bahwa ajaran yang ia bawa datang dari Allah SWT.
Suatu umat yang tinggi
pengetahuannya dalam ilmu kedokteran, misalnya tidak wajar dituntun dengan mukjizat
dalam ilmu tata bahasa, begitu pula sebaliknya. Tuntunan dan pengarahan yang ditunjukan pada
suatu umat harus berkaitan dengan pengetahuan mereka karena Allah tidak akan
mengarahkan suatu umat pada hal-hal yang tidak mereka ketahui. Tujuanya adalah
agar tuntunan dan pengarahan Allah bermakna. Disitulah letak mukjizat yang
telah diberikan kepada para Nabi.
B. PEMBAHASAN
1. Pengertian Mu’jizat
Dari segi bahasa, kata i’jaz,
berasal dari kata a’jaza-yu’jizu i’jazan. Yang berarti melemahkan atau memperlemah.[2]
Juga dapat berarti
menetapkan kelemahan. Secara normatif, I’jaz adalah ketidakmampuan
seseorang melakukan sesuatu yang merupakan lawan dari ketidakberdayaan.[3]
Oleh karena itu, apabila kemukjizatan itu telah terbukti, maka nampaklah
kemampuan mukjizat. Sedang yang dimaksud dengan i’jaz,
secara
terminologi ilmu Al-Qur’an
adalah sebagaimana yang dikemukakan oleh beberapa ahli.
a. Menurut Manna’
Khalil Al-qathan, i’jaz adalah
menampakkan kebenaran Nabi SAW dalam pengakuan orang lain sebagai utusan Allah
SWT. Dengan menampakan kelemahan kelemahan orang-orang Arab untuk menandinginya
atau menghadapi mukjizat yang abadi, yaitu Al-Qur’an dan kelemahan-kelemahan
generasi-generasi sesudah mereka. Sedangkan mukjizat adalah perkara yang luar
biasa yang disertai dengan tantangan yang tidak mungkin dapat ditandingi oleh
siapapun dan kapanpun.[4]
b. Menurut Imam As
Suyuti, mukjizat dalam pemahaman syara’ adalah
kejadian yang melampaui batas kebiasaan, didahului oleh tantangan, tanpa ada
tandingan.
c. Menurut Ibnu Khaldun,
mukjizat adalah perbuatan-perbuatan yang tidak mampu ditiru oleh manusia, maka
ia dinamakan mukjizat, tidak masuk ke dalam kategori yang mampu dilakukan oleh
hamba dan berada diluar standart kemampuan mereka.
d. Muhammad Kamil
Abdush Shamad, menerangkan bahwa mukjizat ada yang bersifat
material yang dicerna panca indera namun melawan hukum alam yang ada dan
mukjizat yang bersifat rasional, semua direspon oleh daya nalar sesuai dengan
kemampuan dan pemahamannya.
Dari beberapa pengertian tersebut dapat diambil
sebuah pengertian mendasar bahwa mukjizat merupakan kejadian yang luar biasa,
melebihi standar kemampuan manusia yang berlaku secara umum.
Begitu pula mukjizat para nabi terdahulu bukanlah semata-mata bertujuan
untuk mengungguli kemampuan manusia secara keseluruhan dengannya,tetapi maksud
dan tujuan utama yang sebenarnya adalah untuk menunjukannnya terhadap mereka,
khususnya yang tida beriman, bahwa para Nabi dan Rasul itu benar benar
menyampaikan misi yang sebenarnya dari Allah SWT, sehingga ketidakmampuan
mereka menandingi mukjizat itu diharapkan mendorongnya untuk mengimani, bahwa
hal itu adalah benar-benar bersumber dari Allah SWT. Tujuannya tidak lain hanya
untuk membimbing mereka agar membenarkan dan sekaligus mengikuti apa yang
disampaikan dan diajarkan kepada meraka dalam rangka mencapai kebahagiaan di
dunia dan di akhirat.
Mukjizat artinya
melemahkan adapun menurut istilah mujizat adalah sesuatu yang luar biasa yang
diperlihatkan Allah melalui para nabi dan Rasul Nya. Kata mu’jizat sendiri
tidak terdapat dalam Al qur’an. Namun untuk menerangkan mujizat Al-Qur’an menggunakan
istilah aayah atau bayyinah.[5]
أَعْجَزَتُ أَنْ أَكُوْنَ مِثْلَ هَذَاالْغُرَابِ
فَأُوَارِيَ سَوْءَةَ أَخِيْ
)المائدة:
31)
“Mengapa aku
tidak mampu berbuat seperti burung gagak ini lalu aku dapat menguburkan mayat
saudaraku ini (Al-maidah :31)”
,Jika
kita berkata “Mukjizat Alqur’an” maka ini berarti bahwa mukjizat (bukti
kebenaran) tersebut adalah mukjizat yang dimiliki atau yang terdapat dalam
Alqur’an, bukannya bukti kebenaran yang datang dari luar Alqur’an atau faktor
luar.[6]
2. Segi-segi
Kemukjizat Al-Qur'an
Berikut adalah penjelasan
segi segi dari kemukjizatan Al-Qur’an[7]:
a) Gaya bahasa Alqur’an
Alqur’an mempunyai gaya
bahasa yang khas yang tidak dapat ditiru oleh para sastrawan arab sekalipun,
karena adanya susunan yang indah yang berlainan dengan setiap susunan yang
diketahui mereka dalam bahasa arab.
Bahasa atau kalimat
kalimat yang ada dalam alqur’an sangat menakjubkan,yang berbeda sekali dengan
kalimat kalimat diluar alqur’an.ia mampu mengeluarkan sesuatu yang abstrak
kepada fenomena yang dapat dirasakan sehingga didalamnya dapat dirasakan ruh
dinamika. Adapun huruf tidak lain hanya simbol makna makna, sementara lafadz
memilik petunjuk etimologis yang berkaitan dengan makna makna tersebut. Menuangkan makna makna yang abstrak tersebut kepada batin seseorang dan
kepada hal hal yang biasa dirasakan (Al-mahsushat) yang bergerak didalam imjinasi dan perasaan, bukan hal yang mudah
dilakukan.
b) Uslub Alqur’an
Keindahan uslub uslub
Al-Qur’an benar benar membuat kagum orang arab dan terpesona.kehalusan bahasa,
keanehan yang menakjubkan dalam ekspresi, ciri khas balaghah dan falshafah yang
baik dapat mengungkapkan rahasia keindahan dan kedudukan Al-qur’an.
Nabi Muhammad SAW pernah
menantang orang orang kafir untuk bertanding melawan Al-Qur’an, ternyata mereka
tidak mampu dan kebingungan. Jago jago retorika arab menjadi bungkam seribu
bahasa. Tantangan tersebut dikemukakan pada masa dimana kemampuan untuk
menunjukan dan merealisasikan bidang sastra memungkinkan dan bakat bangsa arab
dalam lapangan ini tumbuh dengan subur.
Alqur’an Al karim dalam uslubnya yang menakjubkan
mempunyai keistimewaan :
1. Kelembutan Alqur’an secara lafdziah yang
terdapat pada susunan suara dan keindahan bahsanya
2. Keserasian
alqur’an baik kaum awam maupun cendekiawan
3. Sesuai dengan
akal dan perasaan
4. Keindahan
sajian Alqur’an serta susunan bahasanya, seolah olah dapat memukau akal dan
menjadi pusat perhatian
5. Keindahan dalam
lika liku ucapan atau kalimat serta berankeka ragam bentuknya.dalam arti kata
satu makna diartikan dalam berbagai lafadz.
6. Alqur’an
mencangkup dan memenuhi persyaratan antara bentuk global (ijmal) dan
bentuk yang terperinci (tafshil).[8]
Contoh :
وجوه يومئذ نا
ظرةٌ .إلى ربّها نا ظرة .ووجوه يو مئذ با سرةٌ . لاّ تظنّ أن يفعل بها فاقرة
(القيامة:22-25)
Lafadz elok yang berseri (nadhirah)
menerangkan keadaan orang orang yang bahagia dengan lukisan warna yang paling
segar. Sedangkan lafadz “suram-muram (baashirah)” menerangkan
keadaan orang orang yang celaka dengan pelukisan warna
yang paling memuakkan.
فلا أقسم با
الخنّس.الجوار الكنّس. واللّيل إذا عسعس. والصّبح إذا تنفّس. (التكويل :15-18)
Pada saat kita mendengarkan bisikan huruf “sin”
berulang maka kita akan merasakan istilah didalam keringanan bunyi suara.
c) Hukum Ilahi
yang Sempurna
Al-Qur-an menjelaskan pokok-pokok aqidah,
norma-norma keutamaan, sopan-santun, undang-undang ekonomi, politik, sosial,
dan kemasyarakatan, serta hukum-hukum ibadah. Al-Qur-an menggunakan dua cara
tatkala menetapkan sebuah ketentuan hukum, yakni:
1. Secara global
Persoalan ibadah umumnya diterangkan secara global,
sedangkan perincianya diserahkan kepada ulama melalui ijtihad.
2. Secara
terperinci
Hukum yang dijelaskan secara terperinci adalah
yang berkaitan dengan utang piutang, makanan yang halal dan yang haram,
memelihara kehormatan wanita, dan masalah perkawinan.
d)
Ketelitian
Redaksinya
Ketelitian redaksi Al-Qur-an bergantung pada
hal berikut:
1. Keseimbangan
antara jumlah bilangan kata dengan antonimnya.
2. Keseimbangan
jumlah bilangan kata dengan sinonimnya/makna yang dikandungnya.
3. Keseimbangan jumlah
bilangan kata dengan jumlah kata yang menunjukan akibatnya.
4. Keseimbangan
jumlah bilangan kata dengan kata penyebabnya.
Disamping keseimbangan-keseimbangan tersebut,
ditemukan juga keseimbang khusus[9] :
a) Kata yawm (hari) dalam
bentuk tunggal sejumlah 365 kali, sebanyak hari-hari dalam setahun, sedangkan
kata hari yang menunjukan bentuk plural (ayyam) atau dua (yawmayni), berjumlah
tiga puluh, sama dengan jumnlah hari dalam sebulan. Disisi lain,
kata yang berarti bulan (syahr) hanya terdapat dua belas kali sama dengan
jumlah bulan dalam setahun.
b) Al-Qur-an
menjelaskan bahwa langit itu ada tujuh macam. Penjelasan ini diulangi sebanyak
tujuh kali pula, yakni dalam surat Al-Baqarah ayat 29, surat Al-Isra’ ayat 44, surat
Al-Mukmin ayat 86, surat Al-Fushilat ayat 12, surat Ath-Thalaq ayat 12, surat
Al-Mulk ayat 3, dan surat Nuh ayat 15. Selain itu, penjelasan tentang
terciptanya langit dan bumi dalam enam hari dinyatakan pula dalam tujuh ayat.
c) Kata-kata yang menunjukan
kepada utusan Tuhan, baik rasul atau nabi atau basyir (pembawa berita gembira)
atau nadzir (pemberi peringatan), kesemuanya berjumlah 518 kali. Jumlah ini
seimbang dengan jumlah penyebutan nama-nama nabi, rasul dan pembawa berita
tersebut, yakni 518.
d) Isyarat-isyarat Ilmiah
Banyak sekali isyarat ilmiah yang ditemukan
dala Al-Qur-an misalnya:
a. Cahaya matahari bersumber dari dirinya dan
cahaya bulan merupakan pantulan. Terdapat dalam surat
Yunus ayat 5.
b. Kurangnya oksigen pada ketinggian dapat
menyesakan napas, hal ini terdapat pada surat Al-An’am ayat 25.
c. Perbedaan sidik jari manusia. Terdapat dalam
surat Al-Qiyamah ayat 4.
d. Aroma/ bau manusia
berbeda-beda. Terdapat dalam surat Yusuf ayat 94.
e. Masa penyusuan yang tepat dan kehamilan
minimal. Terdapat dalam surat Al-Baqarah ayat 233.
f. Adanya nurani
(super ego) dan bawah sadar manusia. Terdapat dalam surat Al-Qiyamah ayat 14.
g. Yang merasakan nyeri adalah kulit. Terdapat
dalam surat Al-Qiyamah ayat 4.
3. Kemukjizatan Ilmiah
Istilah Al I’jaz Al
‘Ilmiy (kemukjizatan ilmiah) Al Qur’an mengandung makna bahwa sumber
ajaran agama tersebut telah mengabarkan kepada kita tentang fakta-fakta ilmiah
yang kelak ditemukan dan dibuktikan oleh eksperimen sains umat manusia, dan
terbukti tidak dapat dicapai atau diketahui dengan sarana kehidupan yang ada
pada jaman Rasulullah saw.[10]
Hubungan antara
tanda-tanda kebenaran di dalam Al Qur’an dan alam raya dipadukan melalui
mukjizat Al Qur’an (yang lebih dahulu daripada temuan ilmiah) dengan mukjizat
alam raya yang menggambarkan kekuasaan Tuhan. Masing-masing mengakui dan membenarkan mukjizat
yang lain agar keduanya menjadi pelajaran bagi setiap orang yang mempunyai akal
dan hati bersih atau orang yang mau mendengar. Beberapa dalil kuat telah membuktikan
bahwa Al Qur’an tidak mungkin datang, kecuali dari Allah. Buktinya tidak adanya
pertentangan diantara ayat-ayatnya, bahkan sistem yang rapi dan cermat yang
terdapat di alam raya ini juga tidak mungkin terjadi, kecuali dengan kehendak
Allah yang menciptakan segala sesuatu dengan cermat.
Dalam buku At Tafkir
Faridhah Islamiyah (berpikir sebuah kewajiban Islam), Abbas Mahmud Aqqad
menyebutkan dua macam mukjizat yang harus dibedakan, yang pertama mukjizat yang
mengarah ke akal, dapat ditemukan oleh siapapun yang ingin mencarinya, mukjizat
ini adalah keteraturan gejala-gejala alam dan kehidupan yang tidak berubah
berupa sunnatullah. Yang kedua adalah mukjizat yang berupa segala
sesuatu diluar kebiasaan. Mukjizat ini membuat akal manusia tercengang dan memaksanya
untuk tunduk dan menyerah.[11]
Hal yang dapat kita
jadikan i’tibar dalam mukjizat ilmiah pada Al Qur’an adalah
motivasi/dorongan yang kuat bagi manusia untuk selalu memperhatikan
ayat-ayatNya (tadabbur). Tentusaja memperhatikannya seiring dengan kemauan
untuk memikirkannya dan mengingat penciptanya.
Meskipun demikian, kami menemukan
isyarat-isyarat Al Qur’an yang bersifat ilmiah. Hal ini mendapatkan perhatian
yang sangat besar dari kalangan para peneliti Eropa. Karena, isyarat yang
dikandung Al Qur’an sejak lima belas abad yang lalu ditemukan dan dibenarkan
oleh ilmu pengetahuan modern sekarang.
Meskipun telah banyak bukti-bukti ilmiah
tentang kebenaran Al Qur’an, para pemuja materialisme, para sekuler dan para
ateis, tentu saja masih terus membantah kebenaran-kebenaran Al Qur’an karena
ketakutan akan implikasi mengakui keberadaan Sang Pencipta. Selain itu, mereka
selalu melakukan pembenarannya atas bukti-bukti logika (matematis, empiris,
biologis, sosiologis) sebagai dasar pijakan postulatnya.[12]
Menurut Muhammad Kamil
Abdush Shamad, tujuan dari kajian mukjizat ilmiah Al
Qur’an adalah untuk meluaskan cakupan hakikat dari ayat-ayat Al Qur’an,
kemudian memperdalam makna-makna yang terkandung di dalamnya sehingga mengakar
dalam jiwa dan pemikiran manusia dengan cara mengambil hikmah dari eksplorasi
keilmuan kotemporer yang tercakup dalam makna-maknanya. Sedangkan
menurut Ibrahim Muhammad Sirsin bertujuan
memperdalam makna-makna melalui proses analisis terhadap variable-variabel yang
detail. Juga melalui perbandingan mendalam terhadap kritikan para pakar yang
profesional di bidangnya serta para peneliti alam dan kehidupan dalam berbagai
disiplin ilmu pengetahuan.
Kita juga tidak boleh memasukkan dan memaksakan
asumsi dan hipotesis ilmiah yang masih berupa bahan perdebatan dan masih diuji
diantara para pakar. Karenanya, tidak pantas orang yang mengadopsi
asumsi-asumsi ini berusaha memaksakan Al-Qur’an untuk lalu akhirnya mengkambinghitamkan Al-Qur’an.[13] Namun hal ini dapat dijelaskan dalam
kerangka bahwa:
1. Tidak ada
kontradiksi antara hakikat ilmu pengetahuan dengan hakikat Al Qur’an karena
berasal dari satu sumber.
2. Tafsir ilmu tidak akan mempengaruhi
originalitas karena nash tidak mengalami perubahan sesuai teks aslinya.
Tafsiran yang diberikan yang akan disalahkan
Sebagaimana ditulis oleh Muhammad Mutawalli Asy
Sya’rawi dalam kitab Mu’jizah Al Qur’an, dikarenakan Al Qur’an adalah mukjizat
maka nashnya harus tetap dan tidak berubah-ubah, kalau tidak maka hilanglah
mukjizatnya.
Oleh karena itu, kalau
nash tidak secara tegas menunjukkan pada salah satu teori ilmu sains, maka
tidak selayaknya bagi kita untuk memaksakannya, baik untuk menetapkan maupun
untuk menafikkan. Karena itu kita harus mencari ilmu dari
jalannya masing-masing, ilmu astronomi didapatkan dari penelitian, ilmu
kedokteran didapat dari hipotesis dan uji coba. Dengan demikian, niscaya Al
Qur’an akan selalu terjaga, tidak dipergunakan untuk memperdebatkan teori ini,
yang mana semua teori ini bisa diterima juga bisa ditolak serta bisa pula
diganti, sebagaimana juga tidak layak bagi seseorang yang tidak mengetahui
hakikat ilmu tertentu untuk menolak mentah-mentah selagi tidak secara tegas
bertentangan dengan nash yang shohih.
Namun tidak bisa dipungkiri bahwa kesalahan
pada manusia dalam menulis kitab bisa saja terjadi, seperti apa yang telah
dikatakan oleh Al Qodhi Al Fadhil Abdur Rahim bin Ali Al Baisani, “Saya melihat
bahwasanya tidak ada seorangpun yang menulis sebuah kitab kecuali besoknya dia
akan berkata : ‘Seandainya tempat ini diubah niscaya akan lebih baik,
seandainya ditambah dengan begini maka akan lebih bagus, seandainya ini
dikedepankan niscaya akan lebih utama, dan seandainya yang ini dibuang niscaya
akan lebih indah.’ Ini semua adalah dasar yang paling kuat bahwa manusia adalah
makhluk yang serba kurang.”
Dari sisi lain bahwa pemahaman baru terhadap
ayat itu tidak boleh membatalkan pemahaman lama. Dengan ungkapan lain, kita
tidak layak menuduh umat sejak jaman sahabat, bahkan sejak zaman Nabi SAW, salah dalam
memahami satu ayat, kemudian mengklaim bahwa yang benar adalah pemahaman yang
dimiliki si penafsir baru itu. Selayaknya dikatakan, makna baru ini merupakan
tambahan yang digabungkan dengan pemahaman lama, dan bukan membatalkannya.
Sebab diantara keistimewaan Al-Qur’an, keajaiban-keajaibannya tidak pernah
habis tergali.
Kemukjizatan ilmu pada Al Qur’an memang tidak
memposisikan Al Qur’an sebagai kitab sains. Namun dapat memberikan isyarat atau
petunjuk untuk melakukan kajian lebih jauh terhadap pengembangan sains.
Isyarat ilmiah dalam Al Qur’an mengandung
prinsip-prinsip atau kaidah-kaidah
dasar ilmu pengetahuan di setiap zaman dan
kebudayaan. Hal ini membawa maksud bahwa :
- Ayat yang memberikan
isyarat tidak harus terperinci, sehingga para ilmuwan bisa mengkajinya atau
memperinci dengan melakukan penelitian.
- Mukjizat ilmiah Al
Qur’an tidak hanya untuk waktu tertentu saja yaitu ketika terjadi penentangan,
namun berlaku juga ke masa yang akan datang.
Pada satu masa beberapa mukjizat dirasa kurang
masuk akal atau bertentangan dengan nalar dan logika. Tetapi kapasitas nalar
dan intelektual yang dimiliki tidaklah sama, tergantung pada daya pikir
seseorang.
C. PENUTUP
Dapat disimpulkan bahwa mukjizat ilmiah pada Al
Quran dapat memperkuat keimanan terhadap Al Qur’an sebagai wahyu Allah.
Kalaupun terdapat pertentangan sesungguhnya lebih terletak pada jangkauan
penafsiran atau teknologi yang mendukung eksplorasi sains. Dari pendekatan arah
yang lain mukjizat ilmiah yang ada pada Al Qur’an dapat memberikan motivasi dan
memberikan isyarat bagi pengembangan sains. Walaupun tentusaja harus dilakukan
dengan cermat dan menyeluruh serta didasari dengan kaidah penafsiran yang
benar.
Tak kalah serunya Al-Qur`an dilihat dari
demensi ilmiyah. Bagaimana Al-Qur`an mendiskripsikan tentang reproduksi
manusia, hal ihwal proses penciptaan alam beserta frora dan faunanya tentang
awan peredaran matahari dan seterusnya yang semua itu dapat dibuktikan
keabsahannya melalui kacamata ilmiyah, sehingga menujukkan bahwa Al-Qur`an
sejalan dengan rasio dan akal manusia.
Adanya kisah-kisah misterius dalam Al-Qur`an,
menempatkannya sebagai ajaran kehidupan yang mencakup total tata nilai mulai
hulu peradaban umat manusia hingga hilirnya. Bahwa peristiwa-peristiwa tersebut
sengaja dihadirkan oleh Allah agar manusia
mampu menjadikannya sebagai pengalaman atau pelajaran
dalam kehidupan. Ia
merupakan sebuah metode yang dipilih Allah untuk
menuangkan nilai yang terkandung didalamnya.
D. DAFTAR PUSTAKA
Al Munawwar, Husin, Aqil, I’jaz Alqur’an dan Metodologi Tafsir. ( Semarang: Dina
Utama, 2002)
Al Qathan , Manna’ Khalil, Pengantar Studi
Ilmu Alqur’an, (Jakarta:
Pustaka al Kautsar. 2011), hlm 258-259
Mudzakkir, A.S, Studi Ilmu Ilmu Al-Qur’an , Manna’Khalil Al-Qattan, ( Antar
Nusa. 2009)
Pasha, Ahmad
Fuad. Prof, Rahiq Al’Ilmi wa Al-Iman,terj:Dimensi
Sains Al-Qur’an, (Tiga Serangkai: Solo, 2004)
Qardhawi, Yusuf. Dr. Al-Aqlu wal-Ilmu fil-Quranil-Karim,terj.:Al-Qur’an
Berbicara tentang Akal dan Ilmu Pengetahuan, ( Jakarta : Gema Insani Pers,
1996)
Rosihan, Anwar, Ulumul Qur’an. ( Bandung: Pustaka Setia, 2004)
Saksono, Tono, Mengungkap Rahasia Simfoni Dzikir Jagat Raya, (Pustaka Darul
Ilmi, Bekasi, 2006)
Shihab, Quraish M, Mukjizat
Alqur’an, ( Bandung: Mizan, 1992)
Usman, Ulumul
Qur’an. (Yogyakarta :
Teras, 2009)
[4] Manna’ Khalil Al Qathan, Pengantar Studi Ilmu Alqur’an, (Jakarta: Pustaka al Kautsar. 2011), hlm 258-259
[5] Sayyid Agil Husin Almunawwar, I’jaz Alqur’an
dan Metodologi Tafsir. ( Semarang: Dina Utama, 2002), hlm 1
[7] Mudzakkir A.S, Studi
Ilmu Ilmu Al-Qur’an , Manna’Khalil Al-Qattan, ( Antar Nusa. 2009)
hlm 375-387
[10] Prof Ahmad Fuad Pasha, Rahiq Al’Ilmi
wa Al-Iman,terj:Dimensi
Sains Al-Qur’an, (Tiga Serangkai: Solo, 2004) hlm 23
[11] Ibid.. hlm 24
[12] Tono Saksono, Mengungkap Rahasia Simfoni Dzikir Jagat Raya, (Pustaka Darul Ilmi, Bekasi, 2006), hlm 15.
[13] Qardhawi,
Yusuf DR. Al-Aqlu wal-Ilmu fil-Quranil-Karim,terj.:Al-Qur’an
Berbicara tentang Akal dan Ilmu Pengetahuan, ( Jakarta : Gema Insani Pers, 1996)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar