Sabtu, 05 Juli 2014

AL QUR’AN DARI SEGI KEMU’JIZATAN ILMIAHNYA





A. PENDAHULUAN
Salah satu objek penting lainya dalam kajian Ulumul Qur’an adalah perbincangan mengenai mukjizat. Persoalan mukjizat, terutama mukjizat Al-Qur’an, sempat menyeret para teolog klasik dalam perdebatan yang berkepenjangan, terutama antara teolog dari kalangan Mu’tazilah dan para teolog dari kalangan Ahlus sunnah.
Dengan perantara mukjizat, Allah mengingatkan manusia bahwa para rasul itu merupakan utusan yang mendapat dukungan dan bantuan dari langit. Mukjizat yang telah diberikan kepada para nabi mempunyai fungsi yang sama, yaitu memainkan peranannya dan mengatasi kepandaian kaumnya disamping membuktikan bahwa kekuasaan Allah itu berada diatas segala-galanya.
Al-Qur’an mempunyai keistimewaan bila dibandingkan dengan mukjizat-mukjizat para nabi sebelumnya. Mukjizat para Nabi sebelumnya merupakan mukjizat yang hanya dapat diindera dan dibuktikan oleh kaum dan orang-orang yang sezaman dengan Nabi tersebut, sedang orang-orang setelahnya tidak dapat mengetahui adanya mukjizat tersebut kecuali melalui berita, sedangkan mukjizat Al-Qur’an adalah mukjizat yang dapat dindera dan dibuktikan oleh seluruh manusia disetiap masa sampai hari kiamat.
Al-Qur’an adalah kitab petunjuk dan hidayah bagi manusia dan seluruh makhluq yang bertaqwa di atas bumi ini.[1] Seluruh alam yang luas beserta isinya dari bumi, laut dan segala isinya akan menjadi kecil dihadapan manusia yang lemah, karena ia telah diberi keistimewaan-keistimewaan seperti kemampuan berpikir untuk mengelola seluruh yang ada dihadapannya. Akan tetapi Allah tidak akan membiarkan manusia tanpa adanya wahyu pada setiap masa, agar mendapat petunjuk dan menjalankan kehidupannya dengan benar. Maka Allah mengutus Rasul-Nya dengan mu’jizat yang sesuai dengan kecanggihan kaum pada masanya, agar manusia mempercayai bahwa ajaran yang ia bawa datang dari Allah SWT. 
Suatu umat yang tinggi pengetahuannya dalam ilmu kedokteran, misalnya tidak wajar dituntun dengan mukjizat dalam ilmu tata bahasa, begitu pula sebaliknya. Tuntunan dan pengarahan yang ditunjukan pada suatu umat harus berkaitan dengan pengetahuan mereka karena Allah tidak akan mengarahkan suatu umat pada hal-hal yang tidak mereka ketahui. Tujuanya adalah agar tuntunan dan pengarahan Allah bermakna. Disitulah letak mukjizat yang telah diberikan kepada para Nabi.

B. PEMBAHASAN
1. Pengertian Mu’jizat
Dari segi bahasa, kata i’jaz, berasal dari kata a’jaza-yu’jizu i’jazan. Yang berarti melemahkan atau memperlemah.[2]
 Juga dapat berarti menetapkan kelemahan. Secara normatif, I’jaz adalah ketidakmampuan seseorang melakukan sesuatu yang merupakan lawan dari ketidakberdayaan.[3]
Oleh karena itu, apabila kemukjizatan itu telah terbukti, maka nampaklah kemampuan mukjizat. Sedang yang dimaksud dengan i’jaz, secara terminologi ilmu Al-Qur’an adalah sebagaimana yang dikemukakan oleh beberapa ahli.
      a.    Menurut Manna’ Khalil Al-qathan, i’jaz adalah menampakkan kebenaran Nabi SAW dalam pengakuan orang lain sebagai utusan Allah SWT. Dengan menampakan kelemahan kelemahan orang-orang Arab untuk menandinginya atau menghadapi mukjizat yang abadi, yaitu Al-Qur’an dan kelemahan-kelemahan generasi-generasi sesudah mereka. Sedangkan mukjizat adalah perkara yang luar biasa yang disertai dengan tantangan yang tidak mungkin dapat ditandingi oleh siapapun dan kapanpun.[4]
b. Menurut Imam As Suyuti, mukjizat dalam pemahaman syara’ adalah kejadian yang melampaui batas kebiasaan, didahului oleh tantangan, tanpa ada tandingan. 
c.  Menurut Ibnu Khaldun, mukjizat adalah perbuatan-perbuatan yang tidak mampu ditiru oleh manusia, maka ia dinamakan mukjizat, tidak masuk ke dalam kategori yang mampu dilakukan oleh hamba dan berada diluar standart kemampuan mereka. 
d. Muhammad Kamil Abdush Shamad, menerangkan bahwa mukjizat ada yang bersifat material yang dicerna panca indera namun melawan hukum alam yang ada dan mukjizat yang bersifat rasional, semua direspon oleh daya nalar sesuai dengan kemampuan dan pemahamannya.
Dari beberapa pengertian tersebut dapat diambil sebuah pengertian mendasar bahwa mukjizat merupakan kejadian yang luar biasa, melebihi standar kemampuan manusia yang berlaku secara umum.
Begitu pula mukjizat para nabi terdahulu bukanlah semata-mata bertujuan untuk mengungguli kemampuan manusia secara keseluruhan dengannya,tetapi maksud dan tujuan utama yang sebenarnya adalah untuk menunjukannnya terhadap mereka, khususnya yang tida beriman, bahwa para Nabi dan Rasul itu benar benar menyampaikan misi yang sebenarnya dari Allah SWT, sehingga ketidakmampuan mereka menandingi mukjizat itu diharapkan mendorongnya untuk mengimani, bahwa hal itu adalah benar-benar bersumber dari Allah SWT. Tujuannya tidak lain hanya untuk membimbing mereka agar membenarkan dan sekaligus mengikuti apa yang disampaikan dan diajarkan kepada meraka dalam rangka mencapai kebahagiaan di dunia dan di akhirat.
Mukjizat artinya melemahkan adapun menurut istilah mujizat adalah sesuatu yang luar biasa yang diperlihatkan Allah melalui para nabi dan Rasul Nya. Kata mu’jizat sendiri tidak terdapat dalam Al qur’an. Namun untuk menerangkan mujizat Al-Qur’an menggunakan istilah aayah atau bayyinah.[5]

أَعْجَزَتُ أَنْ أَكُوْنَ مِثْلَ هَذَاالْغُرَابِ فَأُوَارِيَ سَوْءَةَ أَخِيْ )المائدة: 31)
“Mengapa aku tidak mampu berbuat seperti burung gagak ini lalu aku dapat menguburkan mayat saudaraku ini (Al-maidah :31)”
,Jika kita berkata “Mukjizat Alqur’an” maka ini berarti bahwa mukjizat (bukti kebenaran) tersebut adalah mukjizat yang dimiliki atau yang terdapat dalam Alqur’an, bukannya bukti kebenaran yang datang dari luar Alqur’an atau faktor luar.[6]
2 Segi-segi Kemukjizat Al-Qur'an
Berikut adalah penjelasan segi segi dari kemukjizatan Al-Qur’an[7]:

a)  Gaya bahasa Alqur’an
Alqur’an mempunyai gaya bahasa yang khas yang tidak dapat ditiru oleh para sastrawan arab sekalipun, karena adanya susunan yang indah yang berlainan dengan setiap susunan yang diketahui mereka dalam bahasa arab.
Bahasa atau kalimat kalimat yang ada dalam alqur’an sangat menakjubkan,yang berbeda sekali dengan kalimat kalimat diluar alqur’an.ia mampu mengeluarkan sesuatu yang abstrak kepada fenomena yang dapat dirasakan sehingga didalamnya dapat dirasakan ruh dinamika. Adapun huruf tidak lain hanya simbol makna makna, sementara lafadz memilik petunjuk etimologis yang berkaitan dengan makna makna tersebut. Menuangkan makna makna yang abstrak tersebut kepada batin seseorang dan kepada hal hal yang biasa dirasakan (Al-mahsushat) yang bergerak didalam imjinasi dan perasaan, bukan hal yang mudah dilakukan.
b)  Uslub Alqur’an
Keindahan uslub uslub Al-Qur’an benar benar membuat kagum orang arab dan terpesona.kehalusan bahasa, keanehan yang menakjubkan dalam ekspresi, ciri khas balaghah dan falshafah yang baik dapat mengungkapkan rahasia keindahan dan kedudukan Al-qur’an.
Nabi Muhammad SAW pernah menantang orang orang kafir untuk bertanding melawan Al-Qur’an, ternyata mereka tidak mampu dan kebingungan. Jago jago retorika arab menjadi bungkam seribu bahasa. Tantangan tersebut dikemukakan pada masa dimana kemampuan untuk menunjukan dan merealisasikan bidang sastra memungkinkan dan bakat bangsa arab dalam lapangan ini tumbuh dengan subur.
Alqur’an Al karim dalam uslubnya yang menakjubkan mempunyai keistimewaan :
      1. Kelembutan Alqur’an secara lafdziah yang terdapat pada susunan suara dan keindahan bahsanya
      2.  Keserasian alqur’an baik kaum awam maupun cendekiawan
      3.  Sesuai dengan akal dan perasaan
      4.  Keindahan sajian Alqur’an serta susunan bahasanya, seolah olah dapat memukau akal dan menjadi pusat perhatian
      5.  Keindahan dalam lika liku ucapan atau kalimat serta berankeka ragam bentuknya.dalam arti kata satu makna diartikan dalam berbagai lafadz.
      6.  Alqur’an mencangkup dan memenuhi persyaratan antara bentuk global (ijmal) dan bentuk yang terperinci (tafshil).[8]
Contoh :
وجوه يومئذ نا ظرةٌ .إلى ربّها نا ظرة .ووجوه يو مئذ با سرةٌ . لاّ تظنّ أن يفعل بها فاقرة (القيامة:22-25)
                                                                                               
Lafadz elok yang berseri (nadhirah) menerangkan keadaan orang orang yang bahagia dengan lukisan warna yang paling segar. Sedangkan lafadz “suram-muram (baashirah)” menerangkan keadaan orang orang yang celaka dengan pelukisan warna yang paling memuakkan.
فلا أقسم با الخنّس.الجوار الكنّس. واللّيل إذا عسعس. والصّبح إذا تنفّس. (التكويل :15-18)

Pada saat kita mendengarkan bisikan huruf “sin” berulang maka kita akan merasakan istilah didalam keringanan bunyi suara.
c)  Hukum Ilahi yang Sempurna
Al-Qur-an menjelaskan pokok-pokok aqidah, norma-norma keutamaan, sopan-santun, undang-undang ekonomi, politik, sosial, dan kemasyarakatan, serta hukum-hukum ibadah. Al-Qur-an menggunakan dua cara tatkala menetapkan sebuah ketentuan hukum, yakni:
1. Secara global
Persoalan ibadah umumnya diterangkan secara global, sedangkan perincianya diserahkan kepada ulama melalui ijtihad.
2. Secara terperinci
Hukum yang dijelaskan secara terperinci adalah yang berkaitan dengan utang piutang, makanan yang halal dan yang haram, memelihara kehormatan wanita, dan masalah perkawinan.

d)     Ketelitian Redaksinya
Ketelitian redaksi Al-Qur-an bergantung pada hal berikut:
1. Keseimbangan antara jumlah bilangan kata dengan antonimnya.
2. Keseimbangan jumlah bilangan kata dengan sinonimnya/makna yang dikandungnya.
3. Keseimbangan jumlah bilangan kata dengan jumlah kata yang menunjukan akibatnya.
4. Keseimbangan jumlah bilangan kata dengan kata penyebabnya.
Disamping keseimbangan-keseimbangan tersebut, ditemukan juga keseimbang khusus[9] :
a) Kata yawm (hari) dalam bentuk tunggal sejumlah 365 kali, sebanyak hari-hari dalam setahun, sedangkan kata hari yang menunjukan bentuk plural (ayyam) atau dua (yawmayni), berjumlah tiga puluh, sama dengan jumnlah hari dalam sebulan. Disisi lain, kata yang berarti bulan (syahr) hanya terdapat dua belas kali sama dengan jumlah bulan dalam setahun.
b) Al-Qur-an menjelaskan bahwa langit itu ada tujuh macam. Penjelasan ini diulangi sebanyak tujuh kali pula, yakni dalam surat Al-Baqarah ayat 29, surat Al-Isra ayat 44, surat Al-Mukmin ayat 86, surat Al-Fushilat ayat 12, surat Ath-Thalaq ayat 12, surat Al-Mulk ayat 3, dan surat Nuh ayat 15. Selain itu, penjelasan tentang terciptanya langit dan bumi dalam enam hari dinyatakan pula dalam tujuh ayat.
c) Kata-kata yang menunjukan kepada utusan Tuhan, baik rasul atau nabi atau basyir (pembawa berita gembira) atau nadzir (pemberi peringatan), kesemuanya berjumlah 518 kali. Jumlah ini seimbang dengan jumlah penyebutan nama-nama nabi, rasul dan pembawa berita tersebut, yakni 518.

d)   Isyarat-isyarat Ilmiah
Banyak sekali isyarat ilmiah yang ditemukan dala Al-Qur-an misalnya:
a. Cahaya matahari bersumber dari dirinya dan cahaya bulan merupakan pantulan. Terdapat dalam surat Yunus  ayat 5.
b. Kurangnya oksigen pada ketinggian dapat menyesakan napas, hal ini terdapat pada surat Al-An’am ayat 25.
c. Perbedaan sidik jari manusia. Terdapat dalam surat Al-Qiyamah ayat 4.
d. Aroma/ bau manusia berbeda-beda. Terdapat dalam surat Yusuf ayat 94.
e. Masa penyusuan yang tepat dan kehamilan minimal. Terdapat dalam surat Al-Baqarah ayat  233.
f. Adanya nurani (super ego) dan bawah sadar manusia. Terdapat dalam surat Al-Qiyamah ayat 14.
g. Yang merasakan nyeri adalah kulit. Terdapat dalam surat Al-Qiyamah ayat 4.

3. Kemukjizatan Ilmiah

Istilah Al I’jaz Al ‘Ilmiy (kemukjizatan ilmiah) Al Qur’an mengandung makna bahwa sumber ajaran agama tersebut telah mengabarkan kepada kita tentang fakta-fakta ilmiah yang kelak ditemukan dan dibuktikan oleh eksperimen sains umat manusia, dan terbukti tidak dapat dicapai atau diketahui dengan sarana kehidupan yang ada pada jaman Rasulullah saw.[10]
Hubungan antara tanda-tanda kebenaran di dalam Al Qur’an dan alam raya dipadukan melalui mukjizat Al Qur’an (yang lebih dahulu daripada temuan ilmiah) dengan mukjizat alam raya yang menggambarkan kekuasaan Tuhan. Masing-masing mengakui dan membenarkan mukjizat yang lain agar keduanya menjadi pelajaran bagi setiap orang yang mempunyai akal dan hati bersih atau orang yang mau mendengar. Beberapa dalil kuat telah membuktikan bahwa Al Qur’an tidak mungkin datang, kecuali dari Allah. Buktinya tidak adanya pertentangan diantara ayat-ayatnya, bahkan sistem yang rapi dan cermat yang terdapat di alam raya ini juga tidak mungkin terjadi, kecuali dengan kehendak Allah yang menciptakan segala sesuatu dengan cermat.
Dalam buku At Tafkir Faridhah Islamiyah (berpikir sebuah kewajiban Islam), Abbas Mahmud Aqqad menyebutkan dua macam mukjizat yang harus dibedakan, yang pertama mukjizat yang mengarah ke akal, dapat ditemukan oleh siapapun yang ingin mencarinya, mukjizat ini adalah keteraturan gejala-gejala alam dan kehidupan yang tidak berubah berupa sunnatullah. Yang kedua adalah mukjizat yang berupa segala sesuatu diluar kebiasaan. Mukjizat ini membuat akal manusia tercengang dan memaksanya untuk tunduk dan menyerah.[11]
Hal yang dapat kita jadikan i’tibar dalam mukjizat ilmiah pada Al Qur’an adalah motivasi/dorongan yang kuat bagi manusia untuk selalu memperhatikan ayat-ayatNya (tadabbur). Tentusaja memperhatikannya seiring dengan kemauan untuk memikirkannya dan mengingat penciptanya.
Meskipun demikian, kami menemukan isyarat-isyarat Al Qur’an yang bersifat ilmiah. Hal ini mendapatkan perhatian yang sangat besar dari kalangan para peneliti Eropa. Karena, isyarat yang dikandung Al Qur’an sejak lima belas abad yang lalu ditemukan dan dibenarkan oleh ilmu pengetahuan modern sekarang.
Meskipun telah banyak bukti-bukti ilmiah tentang kebenaran Al Qur’an, para pemuja materialisme, para sekuler dan para ateis, tentu saja masih terus membantah kebenaran-kebenaran Al Qur’an karena ketakutan akan implikasi mengakui keberadaan Sang Pencipta. Selain itu, mereka selalu melakukan pembenarannya atas bukti-bukti logika (matematis, empiris, biologis, sosiologis) sebagai dasar pijakan postulatnya.[12]
Menurut Muhammad Kamil Abdush Shamad, tujuan dari kajian mukjizat ilmiah Al Qur’an adalah untuk meluaskan cakupan hakikat dari ayat-ayat Al Qur’an, kemudian memperdalam makna-makna yang terkandung di dalamnya sehingga mengakar dalam jiwa dan pemikiran manusia dengan cara mengambil hikmah dari eksplorasi keilmuan kotemporer yang tercakup dalam makna-maknanya. Sedangkan menurut Ibrahim Muhammad  Sirsin bertujuan memperdalam makna-makna melalui proses analisis terhadap variable-variabel yang detail. Juga melalui perbandingan mendalam terhadap kritikan para pakar yang profesional di bidangnya serta para peneliti alam dan kehidupan dalam berbagai disiplin ilmu pengetahuan.
Kita juga tidak boleh memasukkan dan memaksakan asumsi dan hipotesis ilmiah yang masih berupa bahan perdebatan dan masih diuji diantara para pakar. Karenanya, tidak pantas orang yang mengadopsi asumsi-asumsi ini berusaha memaksakan Al-Qur’an untuk  lalu akhirnya mengkambinghitamkan Al-Qur’an.[13] Namun hal ini dapat dijelaskan dalam kerangka bahwa:

1. Tidak ada kontradiksi antara hakikat ilmu pengetahuan dengan hakikat Al Qur’an karena berasal dari satu sumber.
2. Tafsir ilmu tidak akan mempengaruhi originalitas karena nash tidak mengalami perubahan sesuai teks aslinya. Tafsiran yang diberikan yang akan disalahkan
Sebagaimana ditulis oleh Muhammad Mutawalli Asy Sya’rawi dalam kitab Mu’jizah Al Qur’an, dikarenakan Al Qur’an adalah mukjizat maka nashnya harus tetap dan tidak berubah-ubah, kalau tidak maka hilanglah mukjizatnya.
Oleh karena itu, kalau nash tidak secara tegas menunjukkan pada salah satu teori ilmu sains, maka tidak selayaknya bagi kita untuk memaksakannya, baik untuk menetapkan maupun untuk menafikkan. Karena itu kita harus mencari ilmu dari jalannya masing-masing, ilmu astronomi didapatkan dari penelitian, ilmu kedokteran didapat dari hipotesis dan uji coba. Dengan demikian, niscaya Al Qur’an akan selalu terjaga, tidak dipergunakan untuk memperdebatkan teori ini, yang mana semua teori ini bisa diterima juga bisa ditolak serta bisa pula diganti, sebagaimana juga tidak layak bagi seseorang yang tidak mengetahui hakikat ilmu tertentu untuk menolak mentah-mentah selagi tidak secara tegas bertentangan dengan nash yang shohih.
Namun tidak bisa dipungkiri bahwa kesalahan pada manusia dalam menulis kitab bisa saja terjadi, seperti apa yang telah dikatakan oleh Al Qodhi Al Fadhil Abdur Rahim bin Ali Al Baisani, “Saya melihat bahwasanya tidak ada seorangpun yang menulis sebuah kitab kecuali besoknya dia akan berkata : ‘Seandainya tempat ini diubah niscaya akan lebih baik, seandainya ditambah dengan begini maka akan lebih bagus, seandainya ini dikedepankan niscaya akan lebih utama, dan seandainya yang ini dibuang niscaya akan lebih indah.’ Ini semua adalah dasar yang paling kuat bahwa manusia adalah makhluk yang serba kurang.”
Dari sisi lain bahwa pemahaman baru terhadap ayat itu tidak boleh membatalkan pemahaman lama. Dengan ungkapan lain, kita tidak layak menuduh umat sejak jaman sahabat, bahkan sejak zaman Nabi SAW, salah dalam memahami satu ayat, kemudian mengklaim bahwa yang benar adalah pemahaman yang dimiliki si penafsir baru itu. Selayaknya dikatakan, makna baru ini merupakan tambahan yang digabungkan dengan pemahaman lama, dan bukan membatalkannya. Sebab diantara keistimewaan Al-Qur’an, keajaiban-keajaibannya tidak pernah habis tergali.
Kemukjizatan ilmu pada Al Qur’an memang tidak memposisikan Al Qur’an sebagai kitab sains. Namun dapat memberikan isyarat atau petunjuk untuk melakukan kajian lebih jauh terhadap pengembangan sains.
Isyarat ilmiah dalam Al Qur’an mengandung prinsip-prinsip atau kaidah-kaidah dasar ilmu pengetahuan di setiap zaman dan kebudayaan. Hal ini membawa maksud bahwa :
- Ayat yang memberikan isyarat tidak harus terperinci, sehingga para ilmuwan bisa mengkajinya atau memperinci dengan melakukan penelitian.
- Mukjizat ilmiah Al Qur’an tidak hanya untuk waktu tertentu saja yaitu ketika terjadi penentangan, namun berlaku juga ke masa yang akan datang.
Pada satu masa beberapa mukjizat dirasa kurang masuk akal atau bertentangan dengan nalar dan logika. Tetapi kapasitas nalar dan intelektual yang dimiliki tidaklah sama, tergantung pada daya pikir seseorang.

C. PENUTUP

Dapat disimpulkan bahwa mukjizat ilmiah pada Al Quran dapat memperkuat keimanan terhadap Al Qur’an sebagai wahyu Allah. Kalaupun terdapat pertentangan sesungguhnya lebih terletak pada jangkauan penafsiran atau teknologi yang mendukung eksplorasi sains. Dari pendekatan arah yang lain mukjizat ilmiah yang ada pada Al Qur’an dapat memberikan motivasi dan memberikan isyarat bagi pengembangan sains. Walaupun tentusaja harus dilakukan dengan cermat dan menyeluruh serta didasari dengan kaidah penafsiran yang benar.
Tak kalah serunya Al-Qur`an dilihat dari demensi ilmiyah. Bagaimana Al-Qur`an mendiskripsikan tentang reproduksi manusia, hal ihwal proses penciptaan alam beserta frora dan faunanya tentang awan peredaran matahari dan seterusnya yang semua itu dapat dibuktikan keabsahannya melalui kacamata ilmiyah, sehingga menujukkan bahwa Al-Qur`an sejalan dengan rasio dan akal manusia.
Adanya kisah-kisah misterius dalam Al-Qur`an, menempatkannya sebagai ajaran kehidupan yang mencakup total tata nilai mulai hulu peradaban umat manusia hingga hilirnya. Bahwa peristiwa-peristiwa tersebut sengaja dihadirkan oleh Allah agar manusia mampu menjadikannya sebagai pengalaman atau pelajaran dalam kehidupan. Ia merupakan sebuah metode yang dipilih Allah untuk menuangkan nilai yang terkandung didalamnya.

D. DAFTAR PUSTAKA

Al Munawwar, Husin, Aqil, I’jaz Alqur’an dan Metodologi Tafsir. ( Semarang: Dina Utama, 2002)
Al Qathan , Manna’ Khalil, Pengantar Studi Ilmu Alqur’an, (Jakarta: Pustaka al Kautsar. 2011), hlm 258-259
Mudzakkir, A.S, Studi Ilmu Ilmu Al-Qur’an , Manna’Khalil Al-Qattan, ( Antar Nusa. 2009) 
Pasha, Ahmad Fuad. Prof, Rahiq Al’Ilmi wa Al-Iman,terj:Dimensi Sains Al-Qur’an, (Tiga Serangkai: Solo, 2004)
Qardhawi, Yusuf. Dr. Al-Aqlu wal-Ilmu fil-Quranil-Karim,terj.:Al-Qur’an Berbicara tentang Akal dan Ilmu Pengetahuan, ( Jakarta : Gema Insani Pers, 1996)
Rosihan, Anwar, Ulumul Qur’an. ( Bandung: Pustaka Setia, 2004)
Saksono, Tono, Mengungkap Rahasia Simfoni Dzikir Jagat Raya, (Pustaka Darul Ilmi, Bekasi, 2006)
Shihab, Quraish M, Mukjizat Alqur’an, ( Bandung: Mizan, 1992)
Usman, Ulumul Qur’an. (Yogyakarta : Teras, 2009)


[1] QS Al Baqarah : 2

[2] Usman, Ulumul Qur’an. (Yogyakarta : Teras, 2009), hlm 285.
[3] Ibid...  hlm 285
[4] Manna’ Khalil Al Qathan, Pengantar Studi Ilmu Alqur’an, (Jakarta: Pustaka al Kautsar. 2011), hlm 258-259
[5] Sayyid Agil Husin Almunawwar, I’jaz Alqur’an dan Metodologi Tafsir. ( Semarang: Dina Utama, 2002), hlm 1
[6] M Quraish Shihab, Mukjizat Alqur’an, ( Bandung: Mizan, 1992) hlm 43
[7] Mudzakkir A.S, Studi Ilmu Ilmu Al-Qur’an , Manna’Khalil Al-Qattan, ( Antar Nusa. 2009) hlm  375-387
[8]  M Quraish Shihab, Mukjizat Alqur’an, hlm 43
[9]  Anwar Rosihan, Ulumul Qur’an. 2004. (Bandung: Pustaka Setia) hlm 23-24

[10] Prof Ahmad Fuad Pasha, Rahiq Al’Ilmi wa Al-Iman,terj:Dimensi Sains Al-Qur’an, (Tiga Serangkai: Solo, 2004) hlm 23
[11] Ibid.. hlm 24
[12] Tono Saksono, Mengungkap Rahasia Simfoni Dzikir Jagat Raya, (Pustaka Darul Ilmi, Bekasi, 2006), hlm 15.
[13]  Qardhawi, Yusuf DR. Al-Aqlu wal-Ilmu fil-Quranil-Karim,terj.:Al-Qur’an Berbicara tentang Akal dan Ilmu Pengetahuan, ( Jakarta : Gema Insani Pers, 1996)


Tidak ada komentar:

Posting Komentar